Rabu, 15 Juni 2011

PUDHAK SATEGAL

Berguru Pada PUDHAK SATEGAL
Oleh : Wawan Wilwatikta


Ungkapan yang sangat popular dalam kehidupan orang Jawa sejak dahulu yaitu “Wong
Jawa nggone semu, sinamun ing samudana, sesadone ingadu manis” yang berarti :
“Orang Jawa menyukai sesuatu yang semu, disamarkan dengan perlambang, diwujudkan
dalam keindahan”. Semu berarti tersamar atau tidak tampak jelas. Ungkapan ini
menunjukkan sifat orang Jawa yang dalam menyampaikan gagasan kepada orang lain
umumnya tidak secara langsung atau secara tegas lugas.

Pandangan hidup, nasehat dan ajaran-ajaran dalam kehidupan orang Jawa, merupakan
hasil olah rasa berbudaya. Rasa budaya yang tidak dapat dinyatakan dalam komunikasi
pergaulan sehari-hari, sering dinyatakan dalam bentuk simbol. Dalam kehidupan sehari-hari dijumpai penggunaan simbol-simbol sebagai pengungkapan rasa budaya pada suatu karya seni, seperti: pakaian, kain batik, upacara, ukiran, arsitektur dan senjata. Simbol-simbol pada suatu karya seni diharapkan dapat digunakan sebagai sarana komunikasi atau media untuk menitipkan pesan, nasehat atau ajaran bagi keluarga, masyarakat maupun generasi selanjutnya menuju peradaban luhur.

Tidak ada rumusan maupun ukuran timbangan yang pasti, dalam mengungkapkan
simbol-simbol, bahkan setiap pernyataan yang muncul dapat dianggap sebagai suatu
pengkayaan makna, sepanjang masih selaras dengan maksud utamanya.
Upaya mencari makna setiap simbol merupakan usaha untuk merawat sebagian dari
budaya, agar memberikan arti yang sesungguhnya (esensi budaya). Dalam seni keris,
salah satu simbol yang sangat menarik untuk dikaji dan diuraikan maknanya yaitu ricikan Pudhak Sategal.

Pudhak Sategal


Pudhak Sategal merupakan nama dari ricikan Keris yang terletak di bagian sor-soran di tepi bilah. Bentuk ricikan ini menyerupai daun Pudhak (Pandan) dengan ujungnya yang meruncing. Bentuk pola ini, untuk bagian belakang keris pangkal daun dimulai dari sisi tepi bagian bawah sor-soran kemudian meruncing ke atas, kurang lebih sejajar dengan panjang sogokan. Sedangkan untuk bagian depan, pangkal daun dimulai dari atas gandik.

Menurut Serat Centhini, sekar Dhandhanggula, bait ke 24-28 (1992:75) Pudhak Sategal
merupakan dapur keris yang mempunyai luk 5 dengan ricikan kembang kacang, sogokan
dan sraweyan yang diputus bagian bawah. Sehingga, pola Pudhak Sategal merupakan
sraweyan yang dibentuk menyerupai daun Pudhak.

Menurut Bambang Harsrinuksmo (2004:376), ricikan Pudhak Sategal baru ada setelah
Jaman Mataram Akhir dan popular pada jaman Surakarta. Keris tangguh Tua seperti
tangguh Majapahit, Blambangan, Tuban dan Madura Tua tidak ada yang memakai
ricikan Pudhak Sategal.

Apakah ricikan Pudhak Sategal merupakan pengganti atau terinspirasi pola Kinatah
Kamarogan yang populer di jaman Mataram Sultan Agung? Ataukah, sebagai simbol cita-cita Panembahan Senopati saat berupaya mengembalikan kejayaan kerajaan Mataram
dengan konsep “ganda arum”? Kata Mataram jika di jarwa dhosok-kan berasal dari kata
Mata Arum yang berarti sumber keharuman. Konsep pemerintahan yang berdasar hatinurani yang memberikan manfaat dan kemakmuran pada rakyat dan lingkungannya serta memberikan keharuman sepanjang masa. Belum ada catatan tertulis atau penelitian yang memastikan demikian dan tentu, masih memerlukan penelitian untuk pembuktian lebih lanjut.

Pudhak Sategal merupakan ricikan keris seperti halnya dengan ricikan lain yang terdapat pada sebilah keris, antara lain : gandik, sogokan, tikel alis, pijetan dan kembang kacang. Pembuatan setiap ricikan oleh empu pada keris selain mempunyai tujuan fungsional, juga memuat makna filosofis.

Bentuk ricikan pudhak sategal pada bilah keris memang mirip dengan daun
pandan/pudhak yang jika tampak dari depan, terlihat menyembul di kiri-kanan pohon
dengan bentuk meruncing ke atas. Mengapa para pujangga/empu memilih pudhak
sebagai simbol ajaran pada karyanya? Sebenarnya banyak pola yang serupa dengan daun
pandan/pudhak yang meruncing misalnya: gading gajah, tanduk banteng, cula badak dan
taring macan. Bentuk-bentuk tersebut mirip satu dengan lainnya, tapi mungkin saja
kurang mempunyai makna yang mendalam dan kurang akrab dengan kehidupan seharihari
masyarakat.

Empu Keris jaman dahulu memberikan gambaran pada kita, bahwa mereka merupakan
pekerja seni sekaligus spiritualis. Mereka mempunyai kesanggupan untuk memberikan
tema universal yang menyangkut kehidupan sehari-hari manusia pada setiap karya
mereka. Mereka menjadikan Keris menjadi suatu media introspeksi diri terhadap nilai-nilai humanis dan spiritual.

Pandan atau Pudhak

Pandan (Pandanaceae) merupakan tumbuhan yang sangat lekat dengan kehidupan orang
Jawa sejak jaman kuno. Daun pandan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai
pewarna makanan, penyedap masakan, sebagai obat, tikar, kosmetik, sarana upacara,
maupun sebagai bahan pememeliharaan batik. Masyarakat banyak memanfaatkan pohon
pandan dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk daun pandan menghadap ke atas meruncing
diujung dan sering melingkar di sebatang pohon, sehingga tampak dari depan mencuat dikiri dan kanan. Bunga pohon pandan dinamakan Pudhak, namun daun pandan sendiri
sering disebut Pudhak. Pudhak merupakan bunga yang mempunyai aroma harum lembut
(tidak menyengat) selama berhari-hari dan menebar aroma harum menjelang sore hari.
Tumbuhan ini mudah hidup tanpa pemeliharaan khusus dan banyak ditanam
dipekarangan atau ladang maupun sebagai tanaman pagar.

Bagi para pujangga/empu jaman kuno, sifat dan manfaat dari Pudhak sangat menarik
untuk diabadikan pada karyanya. Mereka berusaha untuk menghayati peranan alam bagi
manusia atau sebaliknya. Mereka banyak belajar dan mengambil sesuatu dari alam sekitar sebagai bagian dari ajaran hidup yang bernuansa religi. Simbolisasi Pudhak pada bagian dari Keris merupakan jalan menuju pengalaman spiritual yang menumbuhkan kesadaran hubungan manusia dengan alam dan Tuhan. Para Empu membuka kesadaran manusia untuk selalu mengagumi alam, kemudian mengagumi sang Pencipta. Mereka berusaha mengabadikan dasar-dasar religius alam semesta pada hasil karya teknologi dan budaya untuk meningkatkan kualitas spiritual.

Memberi Tanpa Diminta

Pohon pandan merupakan pohon perdu yang banyak tumbuh dan dijumpai dipekarangan
maupun dipinggir jalan pedesaan. Sekalipun tampak tidak berguna, pohon ini sangat
bermanfaat bagi masyarakat. Daunnya dapat digunakan sebagai tikar, perwarna alami dan menambah aroma pada makanan, bahkan sebagai obat.

Demikianlah, dalam kehidupan ini apakah hidup kita telah memberikan manfaat dan
warna bagi orang lain, seperti daun pandan. Bukan sebaliknya seperti “benalu”, justru merugikan dan membebani orang lain. Ada piwulang Jawa yang mengatakan “urip iku kudu migunani tumraping liyan” yang berarti “hidup itu harus bermanfaat bagi orang lain”. Sebaik-baiknya orang yaitu yang bermanfaat bagi orang lain dan lingkungannya.

Sangat berbeda kehidupan modern yang jauh dari nilai-nilai tradisi. Hubungan antar
manusia lebih banyak dihitung sejauh menguntungkan atau merugikan secara material.
Kepuasan secara material, akan mengikat manusia pada kebudayaan pasar yang umumnya akan berdampak terhadap pemerosotan esensi budaya yang berorientasi spiritual.

Terkadang kita merasa belum cukup untuk berbuat baik bagi orang lain, karena secara
materi belum mampu atau merasa bahwa perbuatan kita tidak akan berdampak banyak
bagi orang yang membutuhkan. Menjadi orang yang berguna bagi orang lain tidak harus
selalu memberi sesuatu hal yang sifatnya materi (harta/uang). Tenaga, pengetahuan,
nasehat, perbuatan yang baik, menentreramkan dan perhatian merupakan bantuan moril
yang dapat kita berikan selain materi. Setiap saat kita dapat berguna dan bermanfaat bagi orang lain, asal kita ada keikhlasan hati untuk beramal (Jawa: Sepi Ing Pamrih). Dengan segala keterbatasan yang kita miliki, sedikit kebaikan yang mampu kita berikan akan memberikan manfaat dan makna yang besar bagi orang lain. Di hadapan Tuhan, bantuan yang diberikan kepada orang lain tidak dilihat dari jumlahnya. Bobot suatu amal tergantung dari usaha yang kita lakukan dan keikhlasan hati.

Pohon Pandan memberikan manfaat dan makna pada kehidupan manusia tanpa harus
menunggu menjadi pohon Kelapa. Pohon pandan sangat memikat bagi para pencari
spiritual, ia memberi manfaat bagi kehidupan tanpa diminta. Memberi bukan berarti
kehilangan kepemilikan, akan tetapi merupakan pengungkapan perhatian manusia untuk
mencintai kehidupan. Sehingga, memberi dan berkorban merupakan ekspresi paling
tinggi dari suatu kemampuan. Maka, sekecil apapun kebaikan yang kita berikan, dapat
besar artinya orang lain, berguna bagi sesama akan membuat hidup lebih bermakna.

Keselarasan Hidup

Daun Pandan tumbuh simetris-seimbang mengelilingi batang pohonnya dan menjulang
ke atas. Daun pandan memberikan gambaran mengenai keharmonisan atau keselarasan.
Pandangan Jawa mengenai keharmonisan atau keselarasan bagi sesama (sosial) dan
lingkungannya (alam) menjadi suatu hal yang penting. Pandangan ini bukanlah sesuatu
pengertian yang abstrak, melainkan berfungsi sebagai sarana dalam usahanya
menghadapi masalah kehidupan. Leluhur menyadari betul, bahwa mereka merupakan
bagian dan fungsi dari alam, sehingga bahasa alam merupakan rujukan dalam menjalani
kehidupannya.

Dalam kehidupan ini, orang perlu menciptakan suasana ketentraman, ketenangan, dan
keseimbangan batin pada dirinya maupun bagi sesamanya. Hal tersebut terwujud dengan
menciptakan kerukunan, sikap hormat dan menghindari konflik.

Dengan demikian, dalam kehidupan orang hendaknya selalu berusaha menjaga
keselarasan sosial, bersikap menyesuaikan diri, bersikap sopan santun, dan mewujudkan kerja sama, serta bersikap menghormati kepada orang lain. Hal tersebut memposisikan akal dan rasa dalam diri secara seimbang untuk mengagungkan nilai-nilai kemanusiaan.

Menebar Keharuman

Pudhak Sategal menggambarkan wangi yang terus menerus tiada henti (angambar-ambar
ganda arum) dari ladang yang luas. Keharuman yang menebar memberikan rasa tenang
dan meningkatkan kesabaran dan keheningan dalam berfikir dan bertindak.

Keharuman memberikan rasa tenteram dan rasa menyenangkan bagi yang menciumnya.
Orang hidup di dunia ini, hendaknya menebarkan aroma harum, seperti harumnya bunga
pudhak. Harumnya nama baik manusia sepanjang masa dan selalu dikenang, hanya dapat
diperoleh dengan perilaku nyata yang memberikan kebaikan terhadap sesama dan
lingkungannya.

Menebar aroma arum harus didasari ulat manis kang mantesi, ruming wicara kang
mranani, sinembuh laku utama. Ulat manis kang mantesi, yaitu bersikap ramah dan menyenangkan hati orang lain, menanggapi seseorang dilandasi dengan kebaikan hati.
Ruming wicara kang mranani, yaitu setiap pembicaraan disampaikan dengan cara yang
halus, menarik dan menentramkan hati orang lain, bukan sebaliknya justru membuat
suasana menjadi gundah.

Sinembuh laku utama, yaitu setiap perbuatan dilandasi dengan keikhlasan dan perilaku
yang baik (laku utama). Dengan demikian, diharapkan dapat membuat orang menebarkan
keharuman (kebaikan) hidupnya bagi orang lain.

Kesimpulan

Pudhak Sategal merupakan simbol dari bunga pandan (pudhak) satu ladang. Bunga
pandan satu ladang yang jumlahnya sangat banyak, memberikan keharuman yang tiada
habisnya bagi lingkungannya. Meskipun berlimpah, tetapi tidak menganggu, karena
justru keharumannya menyenangkan dan menenteramkan. Daun-daun pandan tersusun
secara harmonis melingkari batang pohonnya, terlihat selaras dan seimbang. Daun
Pandan memberi warna dan aroma pada berbagai jenis makanan. Penamaan Pudhak/Pandan sebagai ricikan keris merupakan manifestasi dari besarnya manfaat bagi
kehidupan manusia.

Penggambaran Pudhak pada sebilah keris karena sarat dengan makna dan ajaran-ajaran
hidup bagi manusia. Dalam menjalani kehidupan, orang mencapai keutamaan apabila
bermanfaat, menyenangkan, menjaga keselarasan dan menentreramkan bagi orang lain
dan lingkungannya. Pudhak Sategal memberikan makna bahwa dalam kehidupan,
banyaklah berbuat kebaikan agar jati diri menebar harum dan dikenang sepanjang masa.


Bahan Bacaan:
Bambang Harsrinuksmo, Ensiklopedia Keris, cetk.1,Gramedia, Jakarta, 2004.
Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, Hanindita Graha Widia, cetk 4,
Yogyakarta, 2001.
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafah tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa., Cetk: 9, Gramedia, Jakarta, 2003
Ng. Ranggasutrasna, Sunan Pakubuwana V, Serat Centhini, Jilid II, Terjmh:
Darusuprapta, cetk.1, Balai Pustaka, 1992
Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, Cakrawala, cetk.2, Yogyakarta, 2006.

Dikutip dari Semi Jurnal PAMOR edisi 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar